DPR: Reformasi Subsidi Energi Perlu Dilakukan untuk Meredam Harga Minyak

  • Bagikan
Pengeboran Minyak
ilustrasi pengeboran minyak /net
image_pdfimage_print

Realitarakyat.com – Ketua Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Said Abdullah mengatakan, reformasi subsidi energi perlu segera dilakukan untuk meredam tingginya harga minyak dan gas (migas) pada 2023.

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK) Migas memperkirakan harga minyak pada 2023 masih tinggi, yakni pada level 100  dolar AS per barel karena dipengaruhi konflik Rusia dan Ukraina yang belum mereda dan membaiknya pandemi COVID-19 membuat permintaan minyak dunia meningkat.

“Pemerintah perlu mengubah sasaran subsidi energi tertuju pada keluarga miskin, bukan komoditas. Secara perlahan alihkan mekanisme distribusi elpiji subsidi dari penjualan terbuka menjadi semitertutup dan integrasikan pemberian subsidi elpiji melalui Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTSK) Kementerian Sosial (Kemensos),” ujar Said dalam keterangan resmi di Jakarta, Kamis (11/8).

Hal tersebut, lanjut dia, berlaku pula untuk pengintegrasian para penerima subsidi listrik dan bahan bakar minyak (BBM) melalui DTSK Kemensos.

Data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) melaporkan dari 50,2 juta rumah tangga yang menerima program subsidi elpiji, sekitar 32 persen rumah tangga dengan kondisi sosial ekonomi terendah hanya menikmati 22 persen dari subsidi elpiji, sementara 86 persen dinikmati kelompok yang lebih mampu.

Selain itu, ia mengungkapkan subsidi listrik justru diterima oleh kelompok yang tergolong mampu secara ekonomi sehingga hanya 26 persen kelompok miskin dan rentan yang menikmati subsidi listrik.

Jika dihitung secara nominal, paparnya, rumah tangga miskin hanya menerima subsidi listrik Rp63.399 per bulan, sementara rumah tangga kaya menerima subsidi listrik Rp168.390 per bulan dengan merujuk tingkat konsumsi listrik bulanan dari golongan 900 VA.

“Hal serupa akan dialami pertalite seiring dengan jarak harga yang cukup jauh antara pertalite dengan pertamax. Migrasi konsumen pertamax ke pertalite akan memiliki konsekuensi peningkatan beban subsidi pertalite,” tuturnya.

Ia menyebutkan langkah lain yang bisa dilakukan, yakni dengan perlahan menaikkan harga BBM, elpiji, dan listrik bersubsidi dengan tetap mempertimbangkan kondisi makroekonomi dan daya beli rakyat, terutama golongan menengah bawah. Namun, katanya, saat harga energi rendah, maka harga BBM, elpiji, dan listrik bersubsidi bisa diturunkan.

Pemerintah, katanya, perlu melakukan renegosiasi kontrak pembelian minyak bumi untuk mendapatkan harga lebih ekonomis. Dengan posisi minyak Rusia masih terkena imbas pelarangan penjualan di Eropa dan Amerika Serikat, maka sangat terbuka peluang bagi Indonesia untuk mendapatkan pasokan minyak dari Rusia.

Said menyarankan pemerintah perlu mendorong peningkatan investasi pada sektor hulu migas agar hasil minyak bumi tidak bertumpu pada sumur lama, termasuk konsisten menjalankan target Refinery Development Master Plan, serta meningkatkan kapasitas pengolahan minyak mentah hingga dua juta barel per hari.

“Kedisiplinan pada target ini perlu kita dapatkan mengingat tren ke depan sebagaimana trajectory energi yang dirumuskan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukkan tren impor minyak mentah, BBM, elpiji, dan listrik ke depan terus meningkat,” ucap dia.

Untuk mengurangi beban ketergantungan terhadap minyak bumi yang besar, ia berpendapat pemerintah perlu secara progresif menjalankan kebijakan konversi energi. Sedangkan untuk mengurangi beban ekonomi akibat masih tingginya harga komoditas dunia pada tahun depan, maka pemerintah perlu terus menguatkan program perlindungan sosial.

  • Bagikan