Banjir Impor atau Ketergantungan impor Baja di Hulu atau Hilir, Ada apa ?

  • Bagikan
Banjir Impor atau Ketergantungan impor Baja di Hulu atau Hilir, Ada apa ?
image_pdfimage_print

Realitarakyat.com – Dalam diksusi secara online terbatas bertema Industri Baja terkini tanggal 27 Januari 2022  yang dihadiri oleh pengusaha dan pelaku kebijakan nasional terdapat pembahasan menarik  yang disampaikan oleh para pakar dan Pengamat Industri Baja Nasional, salah satunya Cindar Hari Prabowo, Developer & pemerhati perumahan rakyat dan Ketum ILUNI FTUI 2018-2021 yang  menyampaikan pada diskusi tersebut  bahwa industri Baja Nasional merupakan import processing industry yang artinya industri baja nasional akan mati jika tidak mendapat pasokan bahan  baku baja impor. Dengan data dari BPS dapat dilihat hampir 50% industri nasional memperoleh bahan baku   baja dari impor karena tidak dapat dipasok dari industri hulu baja nasional. Ujar  Cindar

Menurut Cindar, total impor baja nasional dapat dibagi menjadi dua bagian besar yang pertama impor baja dengan tanpa Lartas ( Tanpa Pengendalian Pemerintah) seperti Slab, billet dan biji ore dari data terlihat naik sejak beberapa tahun terakhir  pada tahun 2019 diimpor baja tanpa lartas sebesar 4,7 juta ton dan di tahun 2021 diimpor  mencapai 5,22 juta ton atau naik  11 persen artinya industri hulu dalam negeri hanya asik mengimpor bahan baku tersebut tanpa ada usaha yang sungguh sungguh membuat  dengan berbagai alasan seperti  furnacenya dengan teknologi terbatas bahkan ada yang tidak beroperasi, mereka juga beralasan jika memproses sendiri harganya mahal mending impor, padahal sudah banyak proteksi yang diberikan baik harga gas, BMAD,  fiskal, PMN  oleh karena itu Indonesia harus segera melakukan reformasi Industri Hulu Nasional agar tidak terjadi teriak teriak banjir impor setiap tahun hanya modus untuk menutupi ketidak mampuannya di depan publik, imbuh  Cindar.

Banjir Impor atau Ketergantungan impor Baja di Hulu atau Hilir, Ada apa ?

Lanjut Cindar,  sementara baja yang di Lartas (Dengan Pengendalian Pemerintah) menurut data BPS 2021,  justru mengalami pengendalian terukur. Data tahun 2019 impor baja di lingkup Lartas sebanyak  7,89 juta ton dengan program subtitusi impor  terlihat baja lartas pada  2021 sebesar 6,35 juta ton atau turun  sebanyak 19,5 persen. Kita semua harus jujur kita acungkan jempol buat pemerintah, ulas Cindar. Dengan demikian, sambungnya  ada peningkatan produksi dalam negeri yang menggeser kebutuhan impor baja menuju penggunaan produk dalam negeri mulai dari produk antara hingga produk turunan baja ini sangat mendongkrak investasi baja nasional. Kalau dilihat sebaran impor memang sangat  Ironis, impor justru didominasi oleh produsen di sektor hulu dan antara. Baja gulungan canai panas (Hot Rolled Coil/HRC), baja gulungan canai dingin (Cold Rolled Coil/CRC), dan baja lapis mendominasi 71,6% dari total impor baja yang dikendalikan Pemerintah, oleh karena itu Cindar menilai ada ketidakmampuan baja di sektor hulu baja.

Banjir Impor atau Ketergantungan impor Baja di Hulu atau Hilir, Ada apa ?

Di sela sela diskusi, membahas  sindiran anggota Hipmi tentang kenaikan impor baja,  salah seorang peserta dari humas Poros Maritim Dunia Nawacita, Irianto melihat pernyataan yang disampaikan oleh Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan HIPMI Anggawira salah sasaran dan  hanya berbekal pengetahuan yang dangkal tentang baja nasional dan pernyataan  tentang banjir impor terkesan memojokkan Pemerintah seolah Pemerintah tidak melakukan pengendalian baja hal ini sangat disayangkan, tegas Irianto dan menyarankan agar Anggawira    lebih baik menganalisa performa keuangan industri hulu baja di Indonesia, pungkas Irianto, hal ini penting agar publik tidak salah persepsi dan terkesan melantunkan suara orang lain karena bukan bidang pemahamannya.

Irianto juga menyoroti data yang digunakan Anggawira berasal dari Direksi Komersial KS, Melati Sarmita, yang juga ketua klaster flat produkAsosiasi besi dan baja Indonesia, kami punya rekam digitalnya, sebaiknya Hipmi hitung berapa jumlah impor baja dari perusahaan ini daripada menyuarakan banjir impor dan minta pemerintah mengendalikan impor bisa jadi sindiran  GINSI ke perusahaan pelat merah benar, kepentingan kami hanya ingin baja baja untuk kapal nasional bisa diproduksi di dalam negeri dan bisa kompetitiv, ujar Irianto.

Seluruh peserra diskusi sepakat bahwa Industri baja sebagai mother of industry memiliki peran penting dalam kemajuan industri nasional. Baja merupakan bahan baku bagi banyak industri, mulai dari konstruksi, permesinan, otomotif, elektronika, hingga peralatan rumah tangga.

Iqbal salah seorang ekonom melihat  Pertumbuhan industri baja merupakan faktor kunci tumbuhnya industri lain pada suatu negara. Menurut Iqbal  Industri baja di Indonesia sangat tergantung impor meskipun Indonesia mempunyai Pabrik Baja di Cilegon  sejak tahun 1960 terlepas dari eksistensinya selama lebih dari 60 tahun namun industri dalam negeri justru mengalami kekurangan bahan baku baja. Iqbal melihat  produk-produk turunan baja dibutuhkan berbagai industri, mulai dari konstruksi, permesinan, otomotif, elektronika, hingga peralatan rumah tangga semuanya punya kontribusi ekonomi yang tinggi, namun jika industri hulu nasional tergantung impor tidak membuat sendiri, akan mempengaruhi neraca pembayaran nasional, tekan Iqbal.

Iqbal melihat pemerintah telah berupaya untuk membenahi iklim usaha dengan menjaga keseimbangan pasok dan kebutuhan baja nasional, mulai dari kebijakan pengendalian impor hingga stimulus lain untuk meningkatkan penyerapan baja di dalam negeri. Campur tangan Pemerintah tersebut terlihat dari kinerja industri baja nasional yang meningkat tajam selama dua tahun terakhir.  Pada kuartal III tahun 2021, sektor industri baja tumbuh sebesar 9,82%. pertumbuhan ini jauh lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun 2019 (4,62%), dan bahkan cukup sigifikan dibanding pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya sebesar 3,51% belum lagi kinerja ekspor logam yang cukup bagus, pungkas Iqbal

Iqbal menambahkan pertumbuhan industri baja juga didorong oleh pertumbuhan sektor penggunanya, utamanya sektor otomotif yang tumbuh sebesar 27% setelah Pemerintah memberikan fasilitas pembebasan Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPnBM) untuk kendaraan produksi dalam negeri kategori tertentu. Masa pemulihan ekonomi Pasca Pandemi Covid-19 turut berkontribusi mendorong peningkatan kebutuhan baja.(Es)

  • Bagikan