ICW Sebut Negara Rugi Rp1,6 Triliun Akibat Korupsi di Sektor Pendidikan

  • Bagikan
icw
Kantor ICW. /Net
image_pdfimage_print

Realitarakyat.com – Hasil kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan negara merugi Rp1,6 triliun dari korupsi di sektor pendidikan sepanjang 2016-September 2021. Peneliti ICW, Dewi Anggraeni, mengatakan terdapat 240 korupsi pendidikan yang ditindak aparat penegak hukum dalam waktu enam tahun terakhir.

“Menimbulkan kerugian negara Rp1,6 triliun. Kerugian negara kami yakini jauh lebih besar sebab terdapat kasus yang hingga kajian ini disusun belum diketahui besaran kerugian negaranya,” ujar Dewi dikutip dari situs resmi ICW, Senin (22/11).

“Selain itu, dari observasi pengadaan barang/jasa (PBJ) sektor pendidikan, kami menemukan terdapat pengadaan yang tak sesuai kebutuhan dan tak dapat dimanfaatkan, baik karena mangkrak maupun tidak lengkap,” sambungnya.

Dewi berujar korupsi sektor pendidikan masih terjadi di tengah situasi pandemi Covid-19. Kata dia, 4 dari 12 kasus korupsi pendidikan yang terjadi pada 2020-2021 terkait dengan penanganan Covid-19.

Kasus tersebut yaitu korupsi dana Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) dari Kementerian Agama (Kemenag) di Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Takalar, Kabupaten Wajo, dan Kota Pasuruan dengan modus pemotongan bantuan.

Dari penelusuran ICW dan jaringan di Aceh-Medan, lanjut dia, ditemukan potensi korupsi pada objek yang sama juga banyak terjadi dengan beragam modus, mulai dari disalurkan pada lembaga penerima yang tak memenuhi persyaratan, penerima fiktif, hingga BOP digunakan tidak sesuai peruntukan.

Selain itu, Dewi mengatakan korupsi dana BOS juga masih terjadi meskipun skema penyaluran telah diubah sejak 2020,dari yang sebelumnya ditransfer oleh Kementerian Keuangan ke Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) menjadi ditransfer langsung ke rekening sekolah.

Ia menuturkan, 240 korupsi pendidikan terbanyak berkaitan dengan penggunaan dana BOS, yaitu terdapat 52 kasus atau 21,7 persen dari total kasus.

“Sejauh ini, terdapat 2 korupsi dana BOS tahun anggaran 2020 yang telah ditindak oleh kejaksaan, yaitu di Kota Bitung, Sulawesi Utara, dan Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur dengan modus pemotongan oleh oknum Dinas Pendidikan dan kegiatan fiktif di sekolah,” terang dia.

Selanjutnya, korupsi terbanyak yaitu korupsi pembangunan infrastruktur dan PBJ noninfrastruktur, seperti pengadaan buku, arsip sekolah, meubelair, perangkat TIK untuk e-learning, pengadaan tanah untuk pembangunan fasilitas pendidikan, dan lainnya.

Dewi bilang pengadaan yang dikorupsi itu berasal dari berbagai program dan sumber anggaran, seperti Dana Alokasi Umum (DAU), dana otonomi khusus, anggaran Kemendikbud, anggaran Kemenag, dan APBD. Sebagian diduga bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK), sebab terdapat kasus-kasus yang tidak disebutkan dengan jelas sumber anggarannya. Sedangkan kasus yang dapat diidentifikasi bersumber dari DAK berjumlah 34 kasus.

“Kasus korupsi pendidikan yang ditindak aparat penegak hukum pada 2016-September 2021 ini melibatkan 621 tersangka,” ungkap Dewi.

Aparatur Sipil Negara (ASN) dari Dinas Pendidikan dan instansi lain (di luar ASN di sekolah) menempati posisi puncak dengan 288 tersangka atau 46,3 persen. Diikuti oleh tersangka yang berasal dari pihak sekolah dengan jumlah 157 atau 25,3 persen, serta penyedia/rekanan pengadaan bangunan fisik dan nonfisik maupun penyedia subkontrak dengan 125 tersangka atau 20 persen.

Selain itu, ada 7 tersangka yang merupakan kepala dan wakil kepala daerah.

“Mereka adalah Bupati Jembrana I Gede Winasa, Bupati Sabu Raijua Marthen Dira Tome, Bupati Banyuasin Yan Anton Ferdian, dan Pejabat Bupati Lampung Timur Tauhidi yang ditetapkan sebagai tersangka pada 2016 serta Bupati Hulu Sungai Tengah Harun Nurasid yang ditetapkan sebagai tersangka pada 2017,” imbuh Dewi.

Berdasarkan temuan tersebut, Dewi menyimpulkan bahwa performa pelayanan pendidikan di Indonesia masih jauh dari kata bermutu. Ia turut mengutip skor survei Program for International Student Assessment(PISA) pada 2018 yang menempatkan Indonesia dalam peringkat belakang, yaitu 72 dari 77 negara.

“Masalahnya, sektor pendidikan tak luput dari persoalan belanja tak sesuai kebutuhan prioritas hingga korupsi. Dengan masalah ini, upaya peningkatan pelayanan pendidikan terancam berjalan lamban dan peningkatan anggaran tak banyak berdampak,” terang Dewi.[prs]

  • Bagikan