Jokowi dan DPR Didesak Segera Percepat Reformasi Polri

  • Bagikan
Jokowi dan DPR Didesak Segera Percepat Reformasi Polri
image_pdfimage_print

Realitarakyat.com – Koalisi Reformasi Sektor Keamanan mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan DPR RI untuk mempercepat reformasi Polri.

Salah satu perwakilan koalisi dari LBH Jakarta, Teo Reffelsen mengatakan desakan itu menyusul maraknya kritik masyarakat melalui tagar #PercumaLaporPolisi.

Menurut Teo, riuhnya tagar tersebut di media sosial sebagai bentuk kekecewaan masyarakat atas kerja-kerja kepolisian.

“Yang dalam berbagai kasus dianggap tidak akuntabel, transparan, dan bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia,” kata Teo dalam keterangan tertulisnya, Jumat (15/10).

“Presiden dan DPR RI untuk segera melakukan percepatan agenda reformasi kepolisian dengan melakukan revisi berbagai undang-undang yang berhubungan dengan aspek baik kultural, struktural, hingga instrumental,” imbuhnya.

Teo mengungkapkan reformasi bisa dimulai dengan melakukan revisi berbagai peraturan yang berkaitan kinerja Polri. Beberapa peraturan itu di antaranya, UU Kepolisian, KUHAP dan berbagai aturan yang bersinggungan lainnya.

Teo berkata, beberapa UU itu penting dilakukan karena berhubungan juga dengan kewenangan besar dari Kepolisian. Tujuannya, kata Teo, agar pengawasan dan kontrol yang efektif terhadap kewenangan besar Kepolisian tersebut.

“Presiden segera membentuk sebuah Tim Independen Percepatan Reformasi di kepolisian yang bekerja secara langsung di bawah Presiden, guna memastikan perubahan terjadi di semua lini kepolisian,” ucapnya.

Selain itu, Koalisi juga meminta Jokowi dan DPR RI memerintahkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk melakukan evaluasi menyeluruh.

Jokowi dan DPR, kata Teo, harus meminta Listyo mengambil langkah perbaikan bagi pelaksanaan tugas kepolisian yang mengedepankan prinsip-prinsip pemolisian demokratik dan penghormatan hak asasi manusia.

“Petugas yang melakukan tindak kekerasan harus segera ditindak melalui proses peradilan pidana yang transparan, sehingga bisa menjadi bagian komitmen dari penegakan hukum di tubuh internal kepolisian,” tuturnya.

Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute, Ikhsan Yosarie, mengungkapkan bahwa konsep presisi yang diusung oleh Kapolri Listyo Sigit tidak tersosialisasi dengan baik di lingkungan kepolisian.

Menurutnya, hal tersebut tampak dari cara penanganan demonstrasi yang dilakukan oleh aparat kepolisian.

“Kalau kita berkaca pada beberapa kasus tindak kekerasan, baik itu di lapas maupun pada penanganan demonstrasi, konsep itu tidak terlihat di lapangan,” ujar Ikhsan melalui sambungan telepon pada CNNIndonesia.com, Kamis (14/10).

Presisi adalah singkatan dari prediktif, akuntabilitas, transparansi, dan berkeadilan. Ini merupakan konsep yang dibawa oleh Listyo saat ia diusung menjadi Kapolri awal 2021.

Ikhsan berpendapat konsep ini hanya dipahami di tataran pejabat tinggi Polri. Berkaca dari kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian di lapangan, menurutnya, konsep presisi bahkan tidak tersampaikan ke pimpinan kepolisian di daerah.

“Jangankan anggota lapangan di daerah, tapi juga ke pimpinan di daerah [tidak tersampaikan],” tutur Ikhsan.

Ia memberikan contoh kasus penyelesaian kasus pembantingan mahasiswa yang dilakukan oleh aparat dari Polresta Tangerang hanya berupa permintaan maaf kepada korban. Menurutnya, hal ini merupakan simplifikasi dari kultur kekerasan yang ada di tubuh kepolisian.

“Tidak bisa disederhanakan dengan itu, itu fakta [tindakan pembantingan] bahwa ada kultur kekerasan di dalamnya [tubuh institusi Polri],” ucap Ikhsan.

Oleh sebab itu, Ikhsan memaparkan, bahwa konsep presisi mestinya tidak hanya dipahami oleh Listyo sebagai Kapolri dan menjadi satu-satunya eksekutor.

Listyo bertugas untuk memastikan konsep yang ia usung agar dipahami dan diimplementasikan di daerah.

Menurutnya, jika masih terjadi kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian, maka konsep tersebut belum terimplementasi dengan baik.

“Kita mengaitkan kasus [kekerasan] di daerah dengan Kapolri terkait dengan konsep presisinya, seberapa efektif konsep itu di lapangan?” tutup Ikhsan.

Pada Rabu (13/10) lalu, kasus kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian menjadi sorotan publik.Polisi membanting seorang mahasiswa peserta aksi di depan Kantor Bupati Tangerang.

Muhammad Fariz, mahasiswa UIN SMH, Banten,menjadi korban brutalitas aparat kepolisian yang membubarkan aksi tersebut. Dalam video yang beredar, Fariz dibanting ala smackdown oleh polisi berinisial NP saat aksi dibubarkan.[prs]

 

  • Bagikan