Harga Minya Dunia Meroket,Bagaimana Dengan Pupuk?, SAMDE Berharap Pemerintah Menertibkan Perusahaan Produsen Pupuk Nakal

Pencurian Sawit

Realitarakyat.com – Lonjakan harga minyak dunia yang menembus angka US$80 dolar per barel, dinilai tidak akan memengaruhi harga pupuk dipasaran secara signifikan.

Menurut ketua aliansi petani sawit yang tergabung dalam Sawit Masa Depan (SAMADE), Tolen Kateren, pengaruh lonjakan harga minyak dunia pada komoditi pupuk, baru akan terasa bila pemerintah turut mengkatrol harga bahan bakar minyak (BBM).

Kata Tolen, harga BBM punya pengaruh dalam menentukan harga pupuk melalui variabel ongkos angkut.

“Kalau cerita ongkos angkut, selama ini truk rata-rata pakai biosolar di SPBU dan sepertinya pemerintah belum ada menaik kan harga BBM, jadi kalau menurut saya ongkos angkut tidak berpengaruh signifikan terhadap harga pupuk yang naik hampir 100%,” ujarnya, di Pekanbaru Sabtu (23/10).

Alih-alih persoalan ongkos angkut, jelas Tolen, harga pupuk melonjak di pasaran lantaran aksi ambil untung perusahaan pupuk seiring melonjaknya harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit.

Sebagai gambaran, jika pada tahun 2020 harga pupuk KCL dibandrol Rp 290 ribu/sak, maka pada tahun 2021 pupuk tersebut dipasarkan Rp 550 ribu/sak. Adapun harga TBS di Riau saat ini menembus angka Rp 3.000 setelah selama beberapa bulan berada dikisaran Rp 2.000 per TBS.

SAMADE pun berharap agar pemerintah turun tangan untuk menertibkan perusahaan produsen pupuk. Pasalnya, naik turun harga pupuk tidak selalu linear dengan fluktuasi harga TBS.

“Perlu diingat bahwa harga TBS bisa naik turun kapan saja sedangkan pupuk naik cepat dan turun sangat lambat bahkan kemungkinan tidak bisa seperti harga semula. Ini beda dengan tbs bisa kembali dibawah 1000/kg,” ujar Tolen.

Lebih lanjut Tolen mengatakan, pupuk merupakan komponen penting bagi petani dalam mengoptimalkan hasil kebun. Bila harga pupuk naik tidak terkontrol, maka kemampuan ekonomi petani sawit bakal terimbas.

“Kita bisa melihat sekarang, produsen pupuk ambil kesempatan karena kenaikan harga TBS, terutama perusahaan BUMN. Sejatinya perusahaan BUMN tidak ikut-ikutan perusahaan swasta yang ambil untung gila-gilaan,” tukasnya.(L Damanik)