Atasi Masalah Banjir, Dewan DKI Bilang Harus Gunakan Teknologi

  • Bagikan
Atasi Masalah Banjir, Dewan DKI Bilang Harus Gunakan Teknologi
image_pdfimage_print
Menurut pria yang akrab disapa Kent itu, penerapan sistem peringatan dini (early warning system) dengan mengombinasikan teknologi dan sumber daya manusia (SDM) dari tingkat satuan kerja hingga RT adalah jawaban bagi permasalahan agar Jakarta dapat menekan dampak banjir yang sering menimbulkan korban jiwa dan materi.

“Pemprov DKI Jakarta harus mulai melakukan langkah taktis itu. ‘Early warning system‘ adalah jawaban,” kata Kent dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (21/10).

Menurut dia, penanggulangan banjir tidak bisa bertumpu pada pengerukan lumpur sungai atau sumur resapan saja. “Kembali pada komitmen mau atau tidak,” katanya.

Kent menyebutkan pengerukan lumpur sungai yang awalnya dapat dimaksimalkan, ternyata jauh dari harapan karena keterbatasan alat berat yang dimiliki Pemprov DKI Jakarta sehingga tambal sulam penggunaan alat berat dilakukan.

Hal ini karena pemenuhan infrastruktur pendukung belum menjadi perhatian pemerintah provinsi (pemprov) termasuk penerapan teknologi.

Menurut Kent, Pemprov DKI tidak bisa hanya bertumpu pada keberadaan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) untuk memprediksi cuaca dan bergantung pada pengamatan manual menggunakan ombrometer.

Ombrometer mempunyai banyak kelemahan, seperti frekuensi pengamatannya tidak intens. Selain itu hanya bisa dilakukan satu atau dua kali per hari yang idealnya bisa dilakukan per menit.

Kemudian, pola pengamatan ombormeter yang dilakukan secara manual menggunakan media gelas plastik memiliki risiko salah baca tinggi sehingga data yang didapat akan kurang akurat.

“Kalau deteksi dini penanganan banjir saja masih pakai ombrometer manual, ya jelas tertinggal jauh. Di zaman 4.0 seperti sekarang seharusnya adaptif mengikuti perkembangan zaman, penerapan teknologi harus mulai dilakukan,” kata politisi PDI Perjuangan itu.

Kata Kent, ada tiga aspek yang mempengaruhi banjir di DKI Jakarta. Pertama, hujan di hulu yang mengakibatkan banjir kiriman. Lalu kedua, hujan lokal di Jakarta dan ketiga, kondisi air laut pasang yang menghambat aliran sungai ke laut.

Untuk poin pertama dan kedua adalah fenomena meteorologi dan poin ketiga adalah fenomena astronomi.

Yang berbahaya adalah jika ketiga fenomena tersebut terjadi dalam waktu yang bersamaan. Akibatnya banjir besar seperti pada awal tahun 2020. Padahal drainase di DKI Jakarta hanya bisa menampung 100-150 mm per hari.

​​​​​​​”Tetapi ketika itu curah hujan yang turun 377 mm per hari, drainase tidak mampu menampung air, akhirnya meluap dan banjir,” katanya.

Saat ini Jakarta juga mengandalkan sumur resapan selain pengerukan sungai. Namun itu hanya cocok kalau digunakan untuk menggantikan fungsi wilayah yang tangkapan airnya semakin berkurang, tapi tidak mengatasi luapan.

“Kalau kita siap secara teknologi, kita akan mampu menghitung berapa curah hujan yang akan turun per harinya dan bisa disandingkan dengan kesiapan volume drainase kita,” kata dia.

Menurut Kent, anggaran DKI Jakarta dapat menangani hal-hal penting seperti penanganan banjir termasuk menggerakkan perangkat dari kecamatan hingga RT sebagai upaya mengantisipasi banjir.

“APBD DKI itu tumpah ruah, wajib memakai teknologi yang mutakhir, supaya masalah banjir ini bisa teratasi di tahap awal,” katanya.

Dia optimis jika Gubernur Anies bisa mengelola APBD dengan baik, semua masalah ini akan bisa teratasi.

Terkait dengan statemen Gubernur Anies
Baswedan ​​dan Wakil Gubernur DKI Jakarta
​​​​​​​Riza Patria yang menyiapkan lokasi pengungsian untuk penanganan banjir, Ketua Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL) PPRA Angkatan LXII menilai kurang tepat.

“Kalau berbicara seperti itu, berarti sama saja mengangkat bendera putih. Karena itu, baiknya benahi saja upaya deteksi dini, supaya kita semua tidak keteteran lagi, jangan pakai ombrometer manual,” katanya.

Kent berharap tiga aspek penanganan banjir di Jabodetabek baik secara teknis, ekologi hingga sosial terus dimatangkan dan diselaraskan dengan Kementerian terkait termasuk daerah sekitar Ibu Kota.

Sebaiknya angan sekadar hanya fokus pada antisipasi air yang datang dari hulu dan pembangunan infrastruktur saja. “Early warning system” yang memadai juga harus diprioritaskan.

“Ingat sebentar lagi kita akan memasuki akhir tahun dan biasanya akan terjadi curah hujan yang tinggi. Antisipasi kongkret harus segera berjalan, jangan sekadar narasi,” kata Kent.

  • Bagikan