Sekjen PKP Minta DPR, Pemerintah dan KPU Hati-hati Tentukan Jadwal Pemilu 2024

  • Bagikan
Sekjen PKP Minta DPR, Pemerintah dan KPU Hati-hati Tentukan Jadwal Pemilu 2024
image_pdfimage_print

Realitarakyat.com – Sekretaris Jenderal Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) Said Salahudin mengingatkan DPR, pemerintah, KPU dan Bawaslu terkait penetapan jadwal pelaksanaan Pemilu 2024.

Said Salahudin mengingatkan, jadwal pemilu ditetapkan oleh UUD 1945. Karena itu, mengubah waktunya menyebabkan pelaksanaan Pemilu berpotensi inkonstitusional.

“Untuk itu, DPR, pemerintah, KPU, dan Bawaslu perlu berhati-hati menentukan jadwal Pemilu 2024. Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 telah tegas menyatakan ‘pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali’,” ujar Said dalam keterangannya, Minggu (19/9).

Said lantas memaparkan makna kalimat lima tahun dalam pasal dimaksud. Yakni, 12 bulan dikali lima. Artinya, ketika Pemilu 2019 dilaksanakan di April, maka 60 bulan berikutnya jatuh di April 2024 juga.

“Nah, semestinya semua patuh dan konsisten pada perintah konstitusi. Negara ini harus dibangun dengan sistem yang ajeg agar agenda kenegaraan lima tahunan itu bisa dilaksanakan sebagaimana mestinya,” ucap Said.

Menurut mantan Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) ini, bisa saja jadwal pemilu dimajukan atau dimundurkan, artinya tidak harus di April.

Namun, hal itu hanya dimungkinkan ketika negara dalam keadaan yang bersifat ‘force majure’. Seperti, bencana alam atau bencana non-alam yang terjadi di seluruh Indonesia atau ada unsur kedaruratan serta alasan khusus lain.

“Kalau alasannya hanya karena ada Pilkada Serentak 2024, itu jelas tidak masuk akal. Sebab, jadwal Pilkada Serentak Nasional di November 2024 hanya diatur di level undang-undang,” katanya.

Said menegaskan, jadwal pilkada yang hanya diatur di level undang-undang, berbeda dengan pemilu yang jadwalnya ditetapkan langsung oleh UUD 1945 dan sudah menjadi konvensi selalu dilaksanakan di April sejak empat kali Pemilu terakhir.

“Jika pemilu dilaksanakan di Februari atau Mei 2024 seperti wacana yang muncul selama ini, artinya pemilu tidak genap dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Jadi, bisa muncul permasalahan hukum yang serius jika jadwal pemilu yang diatur dalam UUD 1945 dikalahkan oleh jadwal pilkada yang hanya diatur di level undang-undang,” katanya.

Said kemudian menyarankan jadwal pilkada yang seharusnya diundur kalau memang terpaksa dilakukan. Bukan malah jadwal pemilu yang diutak atik.

“Kalau pelaksanaan pilkada pada November dianggap terlalu dekat dengan pelaksanaan pemilu di April, kan bisa saja jadwalnya diundur melalui revisi undang-undang atau cukup dengan penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) oleh presiden, dalam hal ada unsur kegentingan yang memaksa.

“Artinya, perubahan jadwal pilkada lebih mudah dilakukan daripada mengubah jadwal Pemilu. Sebab, kalau Pemilu tidak dilaksanakan lima tahun sekali, maka MPR harus bersidang untuk melakukan amendemen Pasal 22E ayat (1) UUD 1945,” pungkas Said Salahudin.[prs]

  • Bagikan