Komisi III DPR Jangan Pilih Hakim Agung yang Memiliki Rekam Jejak Buruk!

  • Bagikan
Komisi X DPR
Rapat DPR. DOK/NET
image_pdfimage_print

Realitarakyat.com – Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) berharap agar Komisi III DPR dapat mempertimbangkan masukan masyarakat terhadap tujuh nama calon hakim agung yang lolos uji kelayakan dan kepatutan.

“Dari hasil pemantauan selama proses seleksi di Komisi Yudisial (KY) dan proses uji kelayakan dan kepatutan di DPR, KPP meminta DPR agar tidak mengesahkan calon hakim agung dengan rekam jejak buruk dan bermasalah dalam hal integritas. KPP menggarisbawahi penolakan untuk dua calon hakim agung di kamar pidana dan satu di kamar perdata,” kata Anggota Koalisi Pemantau Peradilan Erwin Natosmal Oemar di Jakarta, Selasa (21/9).

Pada hari ini, Komisi III DPR menyetujui tujuh dari 11 calon hakim agung yang diajukan Komisi Yudisial (KY).

Ketujuh calon hakim agung yang disetujui tersebut adalah untuk kamar pidana yaitu Dwiarso Budi Santiarto (Kepala Badan Pengawasan MA), Jupriyadi (Hakim Tinggi Pengawas pada Badan Pengawasan MA), Prim Haryadi (Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum MA), Suharto (Panitera Muda Pidana Khusus pada MA), Yohanes Priyana (Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Kupang).

Untuk Kamar Perdata ada Haswandi (Panitera Muda Perdata Khusus MA) dan Kamar Militer adalah Tama Ulinta Tarigan (Wakil Kepala Pengadilan Militer Utama).

Nama pertama yang dianggap bermasalah adalah Yohanes Priyana karena diduga melakukan plagiarisme ketika sesi pembuatan makalah di Komisi III DPR pada Jumat (17/9).

Pada sesi uji kelayakan dan kepatutan, anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP Ichsan Soelistio menilai makalah yang dibuat Yohannes diduga kuat termasuk plagiarisme karena tidak menyertakan catatan kaki di beberapa kutipan yang diperlukan.

“DPR sudah sepatutnya konsisten untuk mengeliminasi setiap calon yang telah dianggap berbuat curang seperti saat uji kelayakan dan kepatutan calon Hakim Agung, Triyono Martanto pada Januari lalu,” ungkap Erwin.

Yohanes Priyana yang pernah menjadi Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga dinilai ikut menolak disiarkannya persidangan kasus mega korupsi e-KTP secara langsung.

Kedua, Prim Haryadi saat wawancara di Komisi Yudisial pada 4 Agustus 2021, Komisioner KY menyampaikan bahwa berdasarkan laporan, Prim menyontek pada pelaksanaan “profile assessment” calon pada 2019.

“Meskipun calon menyangkal dalam proses wawancara. Calon juga diduga ikut bermain dalam kegiatan ‘Golf Sehat Bersama’ yang diketuai mantan Ketua Mahkamah Agung (MA). Kegiatan dimaksud turut mengundang Himpunan Bank Negara (Himbara),” ungkap Erwin.

Sejumlah dugaan pelanggaran tersebut tentu bertentangan dengan Kode Etik dan Perilaku Hakim serta memunculkan potensi konflik kepentingan yang kuat.

Selain itu, Prim yang menjabat sebagai Dirjen Badilum MA, pernah mengeluarkan Surat Edaran Dirjen Badilum No 2 Tahun 2020 tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan.

“Aturan ini sempat ditolak publik karena dianggap menutup masyarakat ke layanan pengadilan, sebelum dicabut kemudian hari. Kebijakan ini menegaskan bahwa calon tidak mendukung agenda reformasi peradilan,” tambah Erwin.

Ketiga, Haswandi adalah hakim yang pernah memutus tidak sahnya proses penyidikan Hadi Poernomo (Dirjen Pajak Kemenkeu) terkait Keberatan Wajib Pajak PT BCA dengan pertimbangan janggal yaitu karena penyelidik KPK tidak berasal dari Polri.

Padahal dalam kasus Andi Mallarangeng dan Anas Urbaningrum, penyelidik KPK non-Polri tidak dipersoalkan.

“Selain itu, calon juga pernah dilaporkan ke Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial karena menerima Peninjauan Kembali di atas Peninjauan Kembali yang diajukan PT Geo Dipa Energi sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum,” ungkap Erwin.

Erwin pun mengingatkan agar DPR memilih calon hakim agung yang berintegritas dan berkomitmen penuh dalam pemberantasan korupsi, memiliki visi dan misi jelas.

“Serta pemahaman hukum dan peradilan yang mumpuni serta juga harus memiliki komitmen mendukung reformasi peradilan,” tambah Erwin.

  • Bagikan