Inilah Sejumlah Komentar Anggota DPR Terkait Wacana Petinggi TNI-Polri Yang Akan Menjadi Pj Kepala Daerah di 271 Daerah

Ilustrasi kepala daerah (Ist)

Realitarakyat.com – Tak adanya Pilkada hingga 2024 membuat pemerintah pusat harus menunjuk penjabat (Pj) kepala daerah untuk memimpin 271 daerah mulai dari 2022.

Polemik muncul ketika Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Benni Irwan tidak menutup opsi penunjukan perwira tinggi TNI dan Polri sebagai Pj kepala daerah.

Wakil Ketua DPR RI dari Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengatakan bisa saja hal tersebut dilakukan namun harus dilakukan kajian mendalam terlebih dahulu oleh pemerintah sebelum menetapkan TNI-Polri sebagai Pj kepala daerah.

“Saya pikir, boleh ada, tapi dikomunikasikanlah. Dan saya pikir kajian yang mendalam itu penting untuk sebelum diambil keputusan seperti ini,” ujar Dasco, di Kompleks Parlemen, Selasa(28/9/2021).

Anggota Komisi II DPR RI Fraksi PKB Luqman Hakim tak mempermasalahkan Pj kepala daerah dari TNI-Polri sepanjang ketentuan dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 terpenuhi, yakni dipertimbangkan untuk memimpin daerah-daerah yang tingkat ancaman gangguan ketertiban sosialnya tinggi.

“Apakah penunjukkan Pj kepala daerah dari TNI/Polri ini melanggar aturan? Jawabannya tergantung apakah di dalam organisasi TNI/Polri ada struktur Jabatan Pimpinan Tinggi Madya dan Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama,” kata Luqman.

“Kalau ada, berarti tidak melanggar aturan. Atau, apakah Anggota TNI/Polri yang ditugaskan menjadi Pj kepala daerah sedang menjabat di Jabatan Tinggi Madya/Pratama di Kementerian/Lembaga/Instansi pemerintah,” tambahnya.

Berbeda, anggota Komisi II DPR RI Fraksi PKS Mardani Ali Sera menilai penempatan TNI-Polri sebagai Pj kepala daerah sangat beresiko. Bahkan hal itu bisa disalahgunakankan untuk kepentingan politik penguasa jelang Pemilu Serentak 2024.

“Sangat berisiko, ini seperti eksperimen saja.

Pj ini bisa dikatakan sosok yang tidak memiliki legitimasi politik untuk durasi yang lama. Sangat berpotensi dimanfaatkan untuk kepentingan dan konsolidasi politik kelompok tertentu. Karena itu wajib ada transparansi (penunjukan),” kata Mardani.

Menurutnya, wacana itu perlu dipikirkan secara matang. Dia mengimbau jangan sampai kegagalan dwifungsi ABRI di masa lampau terulang dan tak dijadikan pembelajaran.

“Ada perbedaan DNA pengabdian antara sipil dengan TNI-Polri. Pj untuk waktu yang lama bisa berbahaya bagi stabilitas dan kualitas pelayanan publik. Pola komando yang melekat pada TNI dan Polri beda dengan pola pelayanan pada birokrat,” katanya.

Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi Golkar Ahmad Doli Kurnia lebih meminta pemerintah berhati-hati dalam menunjuk Pj kepala daerah.

Karena Pj kepala daerah yang tak netral dapat berimplikasi pada kualitas pemilu mendatang dan berpihak pada kekuatan politik tertentu.

“Agar orang-orang yang ditempatkan itu benar-benar yang netral, tidak berpihak kepada siapapun nanti yang ikut dalam kontestasi politik.

Karena itu juga berbahaya kalau misalnya yang ditempatkan itu posisinya tidak netral dan kemudian berpihak pada suatu kekuatan politik tertentu,” kata Doli.

Direktur Eksekutif Lingkar Mardani Ray Rangkuti mengatakan wacana penunjukkan TNI-Polri sebagai Pj kepala daerah harus disikapi serius karena dapat semakin merosotkan penilaian demokrasi di tengah melemahnya indeks demokrasi Indonesia.

Uniknya, kata dia, poin kemerosotan tersebut malah disumbang oleh Kemendagri yang sejatinya merupakan pengawal demokrasi di lingkaran pemerintah.

“Bahwa pernah dilakukan pada tahun 2018 tidak dengan sendirinya menjadi dasar diberlakukannya hal yang sama.

Sebab, pokok soalnya bukan soal sudah pernah atau tidak, tapi soal desain sistem demokrasi kita. Pelibatan perwira TNI/polisi dalam pemerintahan juga sudah lazim di era orde baru yang kemudian direvisi sejak era reformasi,” kata Ray.

Dia menyebut Mendagri sendiri tak dapat secara bebas menunjuk perwira TNI-Polri menjadi Pj kepala daerah walau secara aturan tak melarang, seperti dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, serta UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.

Karenanya, Ray menegaskan dasar penunjukkan perwira TNI-Polri bukan sekedar boleh atau tidak boleh oleh UU, tapi harus didasarkan juga atas desain sistem demokrasi Indonesia dan apakah penempatan mereka adalah bagian dari tujuan desain sistem demokrasi yang lebih baik, partisipatif, terbuka, professional dan madani.

Ray menegaskan akan lebih baik penunjukkan yang bersifat administrasi diserahkan kepada sipil, sementara keamanan kepada polisi, dan pertahanan kepada TNI karena pelompatan kewenangan seperti di era orde baru bertentangan dengan prinsip pengelolaan dan desain setiap kewenangan lembaga negara era reformasi yang diharapkan.

“TNI dan tentu saja Polri yang professional merupakan salah satu poin penting dari amanah reformasi.

Jadi, cara baca Kemendagri dalam mengelola hubungan institusi lembaga negara dengan sekedar berdasarkan boleh tidaknya dalam UU tidak mencerminkan salah satu filosofi penting Kemendagri yakni mewadahi dan mendorong proses demokrasi di tingkat lokal dan nasional,” ucap Ray.

“Oleh karena itu, rencana penunjukan perwira TNI-Polri untuk menjadi Pj kepala daerah sudah semestinya untuk ditinjau ulang dan semestinya tidak dilaksanakan,” katanya.

Berbeda, pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul Jamiluddin Ritonga menilai sebaiknya pemerintah memperpanjang masa jabatan 271 kepala daerah daripada menunjuk 271 Pj kepala daerah.

Belum lagi mereka tidak dapat mengambil keputusan strategis.

“Para Pj kepala daerah hanya akan melaksanakan tugas rutin.

Mereka tidak berwenang mengambil keputusan atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran. Sungguh mengerikan bila ada 271 daerah yang dipimpin Pj,” kata Jamiluddin.

Menurutnya sungguh sulit bagi ratusan daerah yang dalam satu atau dua tahun tidak diperbolehkan mengambil kebijakan strategis.

Terutama jika ada masalah krusial yang meminta segera diatasi, maka Pj kepala daerah dinilai tak akan bisa berbuat apa-apa dan membuat rakyat menderita.

Persoalan lain yang timbul adalah apakah tersedia 271 Pj kepala daerah yang benar-benar mumpuni.

“Untuk ini tentu pemerintah tidak bisa terlalu pede seolah-olah memiliki stok yang cukup untuk memenuhi kebutuhan Pj pada tahun 2022 dan 2023. Kiranya pemerintah perlu mempertimbangkan memperpanjang masa jabatan 271 kepala daerah tersebut. Suka tidak suka mereka lebih legitimate daripada pejabat yang ditunjuk pemerintah,” katanya.

“Pilihan itu diharapkan dapat menjaga kondusif daerah sehingga kelanjutan pembangunan dapat dijaga.

Dengan begitu, pemerintah sudah lebih mengutamakan kepentingan rakyat daripada kepentingan politik jangka pendek,” tandasnya.(Din)