Para Ahli Dorong MA Ubah Perma 3/2019 Pasca Berlakunya UU Cipta Kerja

  • Bagikan
Para Ahli Dorong MA Ubah Perma 3/2019 Pasca Berlakunya UU Cipta Kerja
image_pdfimage_print

Realitarakyat.com – Perubahan UU No. 5 Tahun 1999 dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) dan keluarnya Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (PP 44/2021), telah mengalami perubahan dalam tatanan hukum yang berlaku.

Salah satu perubahan penting pasca UU Cipta Kerja adalah adanya perubahan forum upaya hukum keberatan terhadap Putusan KPPU dari Pengadilan Negeri ke Pengadilan Niaga.

Demikian benang merah dalam webinar publik dengan tema “Due Process of Law dan Upaya Hukum Terhadap Putusan KPPU Pasca Undang-Undang Cipta Kerja” yang digelar Hukumonline, di Jakarta, Rabu (30/6/2021).

Webinar tersebut, menghadirkan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Prof. Ningrum Natasya Sirait, mantan Hakim Agung Susanti Adi Nugroho, dan Ketua Komisi Yudisial periode 2013-2015 Suparman Marzuki.

Dengan adanya perubahan tersebut, Mahkamah Agung perlu melakukan perubahan terhadap Peraturan Mahkamah Agung nomor 3 tahun 2019 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (Perma 3/2019).

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Prof. Ningrum Natasya Sirait mengatakan, bahwa perubahan ketentuan UU No. 5 Tahun 1999 pasca UU Cipta Kerja menimbulkan beberapa perubahan terkait hukum acara upaya keberatan di Pengadilan Niaga.

Atas dasar itu, diperlukan adanya perubahan terhadap Perma 3/2019 agar memberikan kepastian hukum bagi para stakeholder.

Lebih lanjut, Ningrum juga menjelaskan bahwa Peninjauan Kembali merupakan upaya hukum luar biasa yang sebenarnya sudah inheren menjadi hak dalam rangka mencari keadilan oleh karena itu tidak tepat apabila terdapat larangan pengajuan PK dalam perkara persaingan usaha, apalagi sebelumnya sudah terdapat banyak putusan Mahkamah Agung yang menerima pengajuan PK dalam perkara persaingan usaha.

Selain hal di atas, Prof. Ningrum juga menekankan adanya pembayaran denda administratif termasuk pemberian jaminan bank jangan dipandang sebagai pengajuan atas kesalahan, melainkan sebagai iktikad baik terlapor dalam menghormati proses perkara apalagi bila selanjutnya sudah tidak tersedianya upaya hukum lain yang seharusnya tetap bisa dilakukan sebagaimana dijamin UndangUndang.

Dalam kesempatan yang sama, mantan Hakim Agung Susanti Adi Nugroho menjelaskan bahwa pemeriksaan keberatan dilakukan terhadap aspek formil maupun materiil.

Oleh karena itu, baik terlapor maupun KPPU perlu diberikan kesempatan untuk mengajukan bukti-bukti tambahan dalam mendukung dalil-dalil yang disampaikan oleh para pihak di tingkat Pengadilan Niaga.

Susanti menambahkan bahwa persyaratan untuk menyerahkan jaminan bank maksimal sebesar 20% dari nilai denda untuk mengajukan upaya hukum keberatan tidak dapat dianggap sebagai pengakuan atas kesalahan dari pelaku usaha terhadap Putusan KPPU, melainkan sebagai pemenuhan persyaratan pelaku usaha yang ingin mengajukan keberatan terhadap Putusan KPPU.

Susanti mencermati bahwa sering timbul pertanyaan apakah upaya hukum kasasi sebagai upaya hukum terakhir pada perkara persaingan usaha dalam peraturan mahakamah agung sebelumnya.

Susanti menanggapi bahwa tidak ada satupun ketentuan dalam undang-undang yang melarang pengajuan PK.

Oleh karena itu, dalam perubahan Peraturan Mahkamah Agung yang baru, perlu ada jaminan pelaku usaha dapat mengajukan PK dalam perkara persaingan usaha sepanjang memenuhi persyaratan yang ditentukan.

Hal senada juga diutarakan Ketua Komisi Yudisial periode 2013-2015 Suparman Marzuki. Menurutnya, potensi konflik kepentingan antara Komisioner KPPU dengan semua temuan investigator yang disebabkan oleh adanya multi peran yang dijalankan oleh KPPU.

Hal ini terlihat dari investigator yang ditugaskan melakukan kegiatan penyelidikan dan penuntutan pada proses pemeriksaan, merupakan subordinat yang bekerja atas perintah dari Komisioner KPPU.

Kondisi tersebut bertentangan prinsip-prinsip due process of law serta berpotensi menimbulkan proses persidangan yang sesat di tingkat KPPU.

Kondisi ini yang meyakinkan pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) ini bahwa upaya keberatan memiliki peran penting dalam memberikan keadilan pada semua pihak, baik KPPU maupun para terlapor.

Tujuannya tidak lain agar Pengadilan Niaga perlu memberikan kesempatan yang luas kepada pelaku usaha yang hendak menguji Putusan KPPU di Pengadilan Niaga.

Pentingnya due process of law dalam perkara persaingan menurut Suparman menjadi penting karena ketentuan UU Cipta Kerja sangat berpotensi menghasilkan potensi denda yang besar mempertimbangkan tidak adanya batasan pengenaan denda maksimum oleh KPPU.

Oleh karena itu, setelah berlakunya UU Cipta Kerja dan PP 44/2021, sudah seharusnya Mahkamah Agung meninjau kembali Perma No. 3/2019 karena sudah tidak relevan lagi. (ndi)

  • Bagikan