Ombudsman Menilai Pelaksanaan PPKM Darurat di DKI Perlu Banyak Perbaikan

  • Bagikan
Ombudsman Menilai Pelaksanaan PPKM Darurat di DKI Perlu Banyak Perbaikan
image_pdfimage_print

Realitarakyat.com – Ombudsman Jakarta Raya menilai upaya pemerintah dalam mengendalikan penyebarluasan virus corona melalui Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat pada 3 hingga 20 Juli 2021 kemarin masih memiliki banyak kekurangan.

Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya Teguh Nugroho mengatakan kesimpulan diambil dari enam poin pemantauan yang mereka lakukan selama PPKM Darurat kemarin, yakni; penapisan mobilitas warga di wilayah aglomerasi Jabodetabek, pengawasan mobilitas warga di tingkat komunitas, layanan kesehatan, pelaksanaan 3T (tracing, tracking, dan treatment), kompensasi dan mitigasi dampak ekonomi PPKM bagi masyarakat rentan, dan program percepatan vaksinasi.

Untuk penapisan, dari hasil pemantauan lembaganya sebenarnya pihaknya menemukan PPKM darurat berhasil menekan mobilitas warga. Tapi, angkanya belum sempurna.

“Pengendalian dan penapisan mobilitas penduduk di wilayah aglomerasi Jakarta cukup berhasil menekan laju mobilitas warga di kawasan tersebut walaupun belum mencapai angka sempurna,” kata Teguh dalam keterangan tertulisnya yang diterima Redaksi , Sabtu (24/7).

Terkait layanan fasilitas kesehatan, Ombudsman menyoroti pasien kritis yang baru mendapat ruangan isolasi setelah antre panjang dan mengalami perburukan yang parah. Bahkan, beberapa ada yang meninggal saat isolasi, karena kondisinya sudah sangat kritis.

Di sisi lain, pemerintah pusat dan Pemprov DKI justru terus menambah fasilitas perawatan isolasi rujukan untuk menangani pasien Covid-19 dengan gejala ringan dan OTG.

Berikutnya, mengenai program percepatan vaksinasi, Ombudsman menilai pemerintah pusat belum memandang pentingnya kesetaraan layanan program vaksinasi antara Jakarta dan daerah penyangga sebagai sebuah kawasan aglomerasi.

“Ketersediaan vaksin Covid di Jakarta sangat melimpah, warga bisa melakukan vaksinasi di puskesmas, RS, bahkan di Stadion GBK,” ujar Teguh.

Di sisi lain, warga penyangga tidak memiliki kemewahan untuk memperoleh vaksinasi jika tidak ada event yang dilaksanakan atau go show ke faskes-faskes terdekat untuk mendapatkan vaksin.

Padahal, menurut Teguh, lebih dari 2 juta orang bekerja di Jakarta merupakan dari wilayah penyangga, sehingga percepatan vaksinasi di Jakarta juga harus diimbangi oleh percepatan vaksinasi di wilayah penyangga.

Selanjutnya, Ombudsman juga menyoroti pengawasan mobilitas warga di tingkat komunitas. Menurut Teguh, pengawasan mobilitas penduduk di tingkat bawah seperti RT dan RW, pemukiman padat penduduk, dan kawasan industri belum berjalan efektif.

“Jakarta telah memiliki aplikasi JAKI untuk memberikan ruang pelaporan bagi warga terkait pelanggaran yang terjadi di komunitas mereka, namun aplikasi ini belum memberikan jaminan perlindungan bagi pelapor,” ungkap Teguh.

“Selain itu, para petugas yang menindaklanjuti laporan belum memiliki kompetensi untuk menjaga kerahasiaan informasi pelapor,” tambahnya.

Untuk pelaksanaan 3T, Ombudsman menilai bahwa turunnya jumlah kasus Covid-19 harian Jakarta belum bisa menjadi indikator atau kondisi sebenarnya di Jakarta. Sebab, hal itu diikuti oleh turunnya jumlah testing dan tracing.

“Salah satu penyebab turunnya angka suspect Covid-19 di Jakarta dalam pantauan Ombudsman adalah kelelahan para nakes dan belum terintegrasinya data warga yang melakukan tracing mandiri dengan data yang difasilitasi pemerintah,” jelas dia.

Terakhir, hasil pantauan Ombudsman mengenai kompensasi dan mitigasi dampak ekonomi PPKM bagi masyarakat rentan. Teguh mengatakan, salah satu faktor utama sulitnya menekan laju mobilitas warga selama PPKM disebabkan oleh kebutuhan masyarakat rentan, khususnya para pekerja harian dalam memenuhi kebutuhan mereka.

Ia menilai, seketat apapun penapisan bahkan lockdown sekalipun tidak akan berhasil mengurangi angka mobilitas jika kebutuhan ekonomi warga tidak terpenuhi.

Ombudsman mengapresiasi langkah pemerintah yang memberikan bantuan sosial tunai (BST) kepada warga selama PPKM. Namun, nominal BST yang diberikan sebesar Rp300 ribu per bulan itu dirasa tidak cukup.

“Perkiraan Ombudsman, untuk memenuhi kebutuhan standar agar warga sama sekali tidak melakukan mobilitas berkisar di angka Rp2 juta sampai Rp2,5 juta, baik dalam bentuk tunai maupun dalam bentuk kompensasi lain,” pungkasnya.(Din)

 

  • Bagikan