Protes Operasional Tambang Dairi Prima Mineral, Warga: Kami Hidup Bukan dari Pertambangan

Realitarakyat.com – Sikap penolakan terhadap operasional tambang seng dan timbal yang dikelola oleh PT. Dairi Prima Mineral (DPM) seluas 24.636 hektar, di Sumatera Utara, semakin menguat. Pasalnya, lokasi tambang yang berada di zona rawan gempa, perusakan hutan tadah hujan hingga ancaman keselamatan warga, terus dikemukakan berbagai kalangan tomas dan masyarakat DAIRI dengan gerakan beberapa kali aksi unras ke DPRD DAIRI, BUPATI sampai ke Kementerian KLHLK.

Menanggapi hal tersebut, Komisi II DPR RI melalui panitia kerja (Panja) pertanahan akan melakukan kunjungan kerja di lokasi tersebut untuk menyikapi permasalahan tersebut.

“Tanggal 17 juni tepatnya pada Kamis ini, kita akan melakukan kunjungan kerja. Untuk menindaklanjuti langsung terkait masalah tambang PT DPM ini termasuk masalah Penggunaan Lahan Hutan yang dikelola PT. GRUTI di Desa Parbuluan dan Sumbul Kabupaten Dairi yang di klaim masyarakat sebagai lahan pertanian mereka dan permasalahan tanah masyarakat dengan PTPN IV Bah Jambi di Kabupaten Simalungun,” ujar Ketua Panja Tanah Komisi II DPR Junimart Girsang, melalui keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (15/6/2021).

Ditegaskannya, kunjungan kerja itu dilakukan setelah sebelumnya tanggal 5 April 2021, Komisi II DPR telah melakukan rapat dengar pendapat umum di DPR dengan para korban dan tokoh masyarakat disekitar tambang, masyarakat desa Parbuluan-Sumbul dan masyarakat Bah Jambi.

“Ini juga menindaklanjuti hasil rapat dengar pendapat umum yang sebelumnya telah kita lakukan bersama para korban dan tokoh masyarakat,” jelasnya

Diketahui, Project pertambangan senilai $630 juta yang dioperasikan oleh Dairi Prima Mineral (DPM), sebuah perusahaan patungan raksasa pertambangan Indonesia Bumi Resources, yang dimiliki oleh keluarga Bakrie dengan Kelompok Pertambangan Logam Non Ferrous China (NFC) milik negara Tiongkok.

Pada operasionalnya, akan menggali tanah Bukit Barisan, tulang punggung Sumatera yang merupakan daerah patahanan gempa. Daerah ini dikelilingi oleh hutan lindung dan desa-desa masyarakat adat Pakpak, Kabupaten Dairi di Sumatera Utara.

Seperti halnya diungkapkan oleh Pemimpin Gereja terbesar di Sumatera Utara, Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Ephorus Robinson Butarbutar. Melalui surat tertulisnya ke Komisi II DPR RI, menyatakan penolakan tersebut berejolak seiring dengan keluarnya ijin operasi produksi PT. DPM oleh Kementrian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) pada awal tahun 2018.

Melalui ijin tersebut PT.DPM pun mulai melakukan pembanguan tailing storage facility/fasilitas penyimpanan limbah (TSF) atau bendungan penampungan limbah tambang (tailing) yang hanya berjarak kurang dari 1000 m dari pemukiman penduduk. Dimana pada lokasi pembangunan Bendungan Tailing itu, terdapat bangunan rumah ibadah Gereja HKBP Sikhem Sopo Komil di Kabupaten Dairi yang pada akhirnya juga saat ini terancam direlokasi.

“HKBP Menolak Relokasi HKBP Sikhem Sopo Komil untuk kepentingan Pembangunan TSF, penolakan terhadap rencana relokasi ini dalam kerangka perjuangan untuk mempertahankan ruang hidup masyarakat dan kelestarian lingkungan alam sekitar. Membangun bendungan tailing kurang dari 1000 meter dari pemukiman termasuk ilegal, sementara itu di Sumatera Utara, DPM mengusulkan bendungan dibangun hanya 400 m dari pemukiman. Selain itu, Adendum meremehkan adanya risiko banjir,” kata Pendeta Robinson dikutip dari surat tertulisnya, Selasa (15/6/2021).

Ditambahkan Pendeta Robinson, dari rencana pembanguan bendungan tailing oleh PT.DPM kelak akan dibangun tak lebih dari 14 km dari Sesar Besar Sumatra. Sementara menurut studi yang digelar Masyarakat Geoteknik Jepang (JGS) pada 2009 lalu, permukaan tanah di lembah Sopokomil didominasi oleh abu vulkanik dari letusan Toba.

Penolakan keras juga dilontarkan perwakilan masyarakat yang mengaku kehidupan mereka tidak bergantung kepada proyek tambang, karena umumnya berprofesi sebagai petani. Serta mempertanyakan potensi ancaman benca dari kegiatan PT DPM. Mengingat keberadaan dari Bendungan Tailing yang dibangun berada sangat dekat dengan pemukiman penduduk.

“Tempat limbah kenapa dibuat dekat dari rumah rakyat, bagaimana kalau Bendungan Tailing itu pecah? Bagaimana kalau kami semua mati? Kami hidup bukan dari pertambangan, dikampung kami banyak penghasilan, semua tanaman bisa tumbuh di daerah kami, maka kami tidak membutuhkan tambang, kami sudah hidup aman disini,” ujar Mariati br. Tohang.[prs]