Pakar Pidana: Revisi UU ITE Harus Komprehensif

  • Bagikan
KPK
Pakar Hukum Suparji Ahmad/Net
image_pdfimage_print

Realitarakyat.com – Pakar Hukum Pidana, Suparji Ahmad sejalan dengan rencana pemerintah untuk merevisi empat pasal dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Menurutnya, langkah tersebut patut diapresiasi.

“Langkah pemerintah untuk merevisi UU ITE patut untuk diapresiasi. Dengan revisi nantinya diharapkan dapat mengatasi masalah dan mencegah krimininalisasi, multi tafsir serta ketidakjelasan dalam UU ITE,” kata Suparji dalam keterangan persnya, Rabu (9/6/2021).

Ia berharap pemerintah tak hanya fokus pada empat pasal. Karena sejatinya masih banyak frasa dalam UU ITE yang cenderung multitafsir dan mengandung ketidakjelasan.

“Misalnya yang pertama tafsir tentang frasa ‘tanpa hak’. Implementasi frasa tersebut belum ada kepastian hukum. Ketika ‘tanpa hak’ sebagai perbuatan melawan hukum, tafsir melawan hukum formil atau materiil? Ini perlu ada kejelasan,” tuturnya.

Suparji menilai perlu juga diperjelas tafsir tentang “Membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” yang terdapat dalam pasal 27 ayat 3). Rumusan frase tersebut masih sangat luas dan bias.

“Demikian pula dengan tafsir kata ‘menimbulkan’. Harus dipertegas, pelanggaran ini sebagai delik formil atau materiil dan bagaimana konstruksi fakta tentang timbul tersebut,” ulasnya.

Berkaitan dengan alat bukti elektronik, Suparji juga menganggap masih multi tafsir. Ia menegaskan bahwa ketentuan pasal 6 sering terjadi perbedaan penafsiran, misalnya terkait rumusan “dapat diakses”, “ditampilkan” dan seterusnya.

“Ini menjadi penting karena berpengaruh pada teknis pembuktian ketentuan tersebut pada saat penyidikan dan persidangan,” ujarnya.

Oleh sebab itu, ia berpesan bahwa dalam rangka menghasilkan revisi UU ITE komprehensif, perlu dicermati lagi ketentuan yang memang perlu direvisi. Sehingga sesuai landasan filosofis, sosiologis dan yuridis. Revisi UU ITE tidak boleh kontradiktif dengan hak kebebasan berekspresi masyarakat melalui ruang digital.

“Revisi ini juga perlu melibatkan akademisi baik ahli pidana atau ahli bahasa supaya mrnghindari frasa yang multi tafsir sehingga bisa disalahgunakan. DPR sebaiknya juga segera menyambut usulan pemerintah ini agar segera melakukan pembahasan secara bersama-sama,” pungkasnya.[prs]

  • Bagikan