DPR Sentil Keributan Ahok dengan Direksi Pertamina

  • Bagikan
deddy
Anggota DPR RI Deddy Yevri Sitorus (ist/net)
image_pdfimage_print

Realitarakyat.com – Komisi VI DPR menyinggung keributan yang kerap terjadi di tubuh PT Pertamina (Persero) antara Komisaris Utama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dengan para direksi. Ribut-ribut di perusahaan minyak raksasa itu menjadi salah satu pertimbangan anggota legislatif untuk merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.

Menurut Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDIP Deddy Yevri Hanteru Sitorus, keributan antara Ahok dengan para direksi Pertamina bisa menjadi pertimbangan untuk penentuan tugas dan wewenang direksi dan komisaris di BUMN ke depan. Selain Ahok, ia juga sempat menyinggung beberapa komisaris lain, seperti Komisaris Utama PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk Arcandra Tahar dan Komisaris Utama PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI Agus Martowardojo.

“Misalnya kasus Pak Ahok di Pertamina, Pak Arcandra di PGN, dan Pak Agus Marto di BNI, ini bagaimana untuk mencegah hal seperti ini? Karena saya lihat Pertamina misal ini ribut mulu antara komisaris dan direksinya. Padahal harusnya itu sebenarnya sudah ada di RUPS dan perencanaan,” ungkap Deddy dalam rapat bersama sejumlah tokoh dan pengamat BUMN, Rabu (23/6/2021).

Masalahnya, menurut Deddy, hubungan komisaris dan direksi yang tak harmonis di Pertamina, bukan cuma memberi gangguan dari segi hubungan masing-masing tokoh, tapi juga berdampak pada kinerja perusahaan.

“Misalnya Pertamina, itu hampir semua project jadi berantakan karena komisaris, PGN juga. Ini dispute-nya bikin terhambat kerja. Komisaris kan wakil pemegang saham, tapi bukan pemegang saham, seharusnya dia (lapor) ke Kementerian BUMN, bukan malah buat perusahaan terkatung-katung,” katanya.

Atas kondisi ini, Komisi VI DPR pun meminta pendapat dari sejumlah tokoh mengenai tugas dan wewenang komisaris-direksi di BUMN. Salah satunya yang dimintai pendapat adalah Tanri Abeng yang pernah menjabat Menteri Negara Pendayagunaan BUMN pada era Presiden ke-2 Indonesia Soeharto.

Menurut Tanri Abeng, tugas dan wewenang komisaris-direksi perusahaan negara sejatinya sudah jelas dalam UU BUMN saat ini. Komisaris bertugas mengawasi kerja direksi, sementara direksi melakukan eksekusi pada setiap perencanaan yang sudah dibuat direksi dengan mengikutsertakan pandangan dari komisaris.

“Sebenarnya harus jelas, direksi lakukan eksekusi dan komisaris mengawasi, tapi komisaris jangan ikut eksekusi, karena direksi yang eksekusi, komisaris hanya yang awasi. Jadi ketika menyusun rencana itu berdua, tapi ketika eksekusi itu direksi saja,” ucap Tanri.

Tanri melihat komisaris perlu diberi ruang untuk bisa ikut membagi pikiran dalam perencanaan kerja perusahaan, khususnya rencana jangka panjang. Komisaris perlu berkontribusi karena sudah diberi honor untuk hal ini.

“Tapi jangan sampai ada dua orang yang menulis hasil RUPS, komisaris hanya perlu memantapkan apa yang akan disampaikan direksi di RUPS. Jangan direksi nanti mengusulkan apa rencananya, lalu komisaris membantah atau mengomentari lagi. Akhirnya nanti menteri yang bingung, yang mana yang saya harus ikuti,” jelasnya.

Di sisi lain, Tanri juga menilai perlu ada perubahan ketentuan dalam UU BUMN terkait tanggung jawab bagi direksi ketika BUMN mengalami kerugian. Sebab, hal ini secara psikologis menyerang direksi dalam mengambil keputusan.

“Karena banyak dari mereka (direksi) yang jadi tidak mau ambil keputusan meski sebenarnya (hasilnya) menguntungkan, karena tetap berisiko untuk dia. Ini jadi tidak diberi peluang ke BUMN untuk bersaing secara efektif karena siapa yang mau ambil risiko kalau ini bisa jadi risiko hukum bagi dia,” pungkasnya.[prs]

  • Bagikan