Petrus Selestinus: Novel Baswedan Cs Paksa Jokowi dan Pimpinan KPK Masuk Dalam Jebakan

  • Bagikan
Petrus Selestinus: Novel Baswedan Cs Paksa Jokowi dan Pimpinan KPK Masuk Dalam Jebakan
Petrus Selestinus. /NET/IST
image_pdfimage_print

Realitarakyat.com – Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus, menyayangkan sikap mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan dan kawan-kawan yang melakukan akrobatik politik kepada lembaga-lembaga di luar badan peradilan pasca penonaktifan karyawan berdasarkan hasil Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).

Kata Petrus, Keputusan Badan Kepegawaian Nasional (BKN) tentang 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lulus TWK dan keputusan Pimpinan KPK menonaktifkan 75 pegawai KPK dalam proses pengalihan pegawai KPK menjadi pegawai aparat sipil negara (ASN), merupakan keputusan tertulis Pejabat Tata Usaha Negara (PTUM) yang bersifat konkret, final dan individual, serta menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Artinya, kata dia, setiap keputusan pejabat Tata Usaha Negara yang bersifat konkrit, individual dan final dimaksud, hanya boleh diubah dengan dua pendekatan, yaitu asas “contrarius actus”, berupa mencabut kembali keputusan Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkuta, oleh pejabat yang mengeluarkab keputusan atau melalui pendekatan gugatan ke PTUN yang berwewenang untuk membatalkan.

“Dengan demikian, tidak pada tempatnya bagi Novel Baswedan cs, Bambang Widjojanto dkk. ICW dan Koalisi Guru Besar Anti Korupsi, untuk melakukan akrobat politik kepada lembaga-lembaga di luar Badan Peradilan, sebagai politicking dengan mengabaikan upaya hukum yang tersedia,” ujar Petrus, dalam keterangan tertulisnya, Minggu (30/5/2021).

Presiden dan pimpinan KPK harus memilih
Dalam keadaan demikian, kata dia, maka Presiden Jokowi dan Pimpinan KPK harus memilih, dan pilihannya adalah mengedepankan kepentingan strategis nasional, yaitu hanya menerima calon pegawai ASN yang lolos TWK.

“Karena di dalam UU tentang ASN ditegaskan bahwa ASN sebagai profesi berlandaskan pada prinsip Nilai Dasar; Kode Etik dan Kode Perilaku, Komitmen, Integritas Moral, Profesionalitas Jabatan, Kompetensi dan lain-lain,” ujarnya menambahkan.

Menurut Petrus, langkah Bambang Widjojanto dkk, ICW dan Koalisi Guru Besar Anti Korupsi, mengabaikan upaya hukum dan memilih cara-cara mempolitisasi kasus 75 Pegawai KPK nonaktif, dengan membawa kasus ini ke Presiden, Komnas HAM dan Kapolri.

“Ini menunjukan terjadinya apa yang disebut sebagai politicking pada satu sisi dan pada sisi lain menunjukan bahwa Pimpinan KPK Firli Bahuri berhasil menjaga Independensi KPK, dari pengaruh kelompok manapun,” katanya lagi.

Pernyataan Bambang Widjojanto, bahwa Presiden sebagai pejabat tertinggi ASN, memiliki otoritas untuk mengambil alih persoalan TWK Pegawai KPK dengan merujuk ketentuan pasal 3 ayat (7) PP No. 17 Tahun 2020 Tentang Manajemen ASN, lagi-lagi sebagai pandangan yang absurd dan provokatif, karena pasal 3 ayat (7), kata Petrus, itu jelas dimaksudkan untuk mereka yang sudah jadi ASN terkait sistem merit dan peningkatan efektifias penyelenggaraan pemerintahan.

Ide absurd dan provokatif dari Bambang Widjojanto yang meminta Presiden Jokowi mengangkat 75 Calon Pegawai ASN yang dinyatakan tidak lolos TWK dan agar Presiden Jokowi mendelegitimasi atau membatalkan keputusan Ketua KPK atas 75 Pegawai KPK nonaktif, menurut Petrus, sama saja dengan memasang jebakan dan meminta Presiden Jokowi dan Pimpinan KPK untuk masuk dalam jebakan itu.

Sebagai mantan Pimpinan KPK dan saat ini Ketua TGUPP Pencegahan Korupsi pada Pemda DKI Jakarta, katanya, Bambang Widjojanto mestinya paham bahwa Presiden Jokowi dan Pimpinan KPK Firli Bahuri dkk, sama-sama terikat oleh sifat independensi KPK, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 3 UU No. 19 Tahun 2019 dan penjelasannya.

“Pada fase ini Bambang Widjojanto telah menggunakan kaca mata kuda, sehingga tidak dapat membedakan mana yang menjadi tugas dan wewenang Pimpinan KPK dan mana yang menjadi tugas dan tanggung jawab Presiden Jokowi, juga mana metode TWK dan mana konten TWK, apalagi Presiden dan KPK berada dalam garis pemisah independensi KPK,” kata dia.

Menurut Petrus, tuduhan yang tidak bertanggung jawab dan tanpa dasar dari Bambang Widjojanto yaitu menyalahkan metode TWK yang diterapkan BKN sebagai memuat unsur-unsur yang potensial bersifat rasisme, intoleran, melanggar HAM, dan berpihak pada kepentingan perilaku koruptif dan bersifat otoriter, nampak jelas bahwa Bambang tidak dapat membedakan mana metode dan mana konten TWK. “Tetapi itulah politicking,” kata Petrus mengakhiri keterangannya. (ndi)

  • Bagikan