Hukum Menjadi Panglima Dalam Penyelesaian Konflik Papua

  • Bagikan
Hukum Menjadi Panglima Dalam Penyelesaian Konflik Papua
image_pdfimage_print

Realitarakyat.com  – Komjen Pol. Drs. Paulus Waterpauw (Tokoh Masyarakat Papua) mengingatkan bahwa Indonesia adalah negara hukum sehingga pendekatan hukum harus dipakai terhadap pelaku kriminal di Papua.

“Kelompok mereka sudah punya senjata tajam lalu lakukan kekerasan pada masyarakat. Minta makanan, minta dana. Mereka lakukan itu kepada warga Papua bahkan membakar rumah warga. Maka kita harus tegakkan aturan hukum,” ujarnya.

Paulus menilai konflik Papua harus dilihat dengan pendekatan hukum karena siapan pun wajib taat pada aturan negara. Hukum harus menjadi panglima dalam penyelesaian masalah ini. Kalau hukum berjalan baik akan baik pula negara.

“Jadi yang dilabeli teroris adalah orang-orang yang melakukan kekerasan itu. Bukan masyarakat Papua,” tegas Paulus.

Oleh Sebab itu, ia mengingatkan jika nanti sudah diputuskan di pengadilan terhadap pelaku teroris di Papua, maka kelompok itu akan mendapat konsekuensi besar. Bukan hanya pelaku di lapangan, tapi juga otak di belakang layar.

“Hati-hati. Itu ada unsur unsurnya. Soal yang membantu. Akan terciduk semua. Baik di dalam maupun luar negeri,” katanya.

Saat ini pemerintah telah menetapkan status teroris bagi Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua.

Menanggapi hal itu, Anggota Komisi I DPR RI, Bobby Adhityo Rizaldi mengatakan label terorisme itu berarti memenuhi unsur-unsur untuk ditindak sesuai UU Terorisme.

“Konsekuensinya adalah pemerintah wajib untuk mengerahkan seluruh sumber dayanya dalam melakukan tindakan-tindakan tertentu yang terukur,” ujar Bobby.

Hal ini disampaikan saat webinar yang diselenggarakan Indonesian Public Institute (IPI) dengan tema “Memahami Papua Serta Upaya Penyelesaian Secara Kolaboratif dan Holistik” pada Kamis, 6 Mei 2021.

Webinar itu menghadirkan pembicara Komjen Pol. Drs. Paulus Waterpauw (Tokoh Masyarakat Papua); Dr. AS Hikam, MA (Pengamat Politik President University); Jaleswari Pramodhawardani (Deputi V Bidang Politik Hukum Pertahanan Keamanan dan HAM – Kantor Staf Presiden); Billy Mambrasar (Staf Khusus Presiden/Pengusaha Muda Papua); dan Puspita Ayu Putri Dima sebagai Host.

Bobby mengatakan, penanganan KKB dengan UU Terorisme ini membuat  banyak yang takut, karena aktor intelektual yang mendukung dengan uang dan sumberdaya lain bisa ditangkap dan diadili juga.

Pelabelan teroris terhadap KKB, jelas Bobby, perlu disosialisasikan secara massif. Dan melabelkan Teroris terhadap KKB Papua juga tak akan ada masalah dengan dunia internasional.

“Jadi mereka (teroris KKB) mau ke Jenewa tak bisa. Mereka ini bukan separatis. Ini trans nasional crime seperti ISIS. Mereka bukan separatism,” tegasnya.

Adapun Deputi V Kantor staf Presiden, Jaleswari Pramodhawardani meminta agar semua pihak tidak melakukan generalisasi ketika bicara konflik Papua.

“Kita jangan gebyah uyah kalau bicara Papua. Kalau bicara daerah konflik tidak semua daerah Papua bergejolak. Tidak. Hanya beberapa daerah saja yang konflik, dan itu daerah yang IPM-nya masih rendah,” kata Jaleswari.

Ia meminta agar semua pihak dapat melihat Papua dalam kacamata luas, karena di Papua banyak sekali suku, adat, dan kelompok masyarakat. Sehingga tak bisa satu atau dua kelompok bicara dan mengklaim mewakili Papua.

Selain itu, Jaleswari menegaskan dalam melihat Papua harus berdasarkan data. Dengan begitu, akan terlihat secara utuh dan nyata tentang adanya kemajuan ataupun kekuatangan dalam pangunan Papua.

“Kita terlalu riuh dengan opini, maka kita harus sepakat bicara berdasarkan data yang kredible,” jelasnya.

Terkait penanganan kekerasan di Papua, Jaleswari menilai masalah ini tak bisa hanya diserahkan ke pasukan TNI dan Polri saja. Tapi juga perlu peranan para tokoh adat, tokoh agama, dan kelompok masyarakat Papua.

“TNI Polri menjaga keamanan di daerah yang rawan. Tapi masyarakat adat, tokoh agama, pihak gereja juga penting memberikan arahannya bagaimana menjaga kondisi di daerahnya.
Pendekatan adat menjadi pendekatan utama sebelum pendekatan keamanan.  Ini yang terus didorong,” kata Jaleswari.

Adapun AS Hikam mengatakan, pendekatan dialog tetap harus dikedepankan dalam mengatasi konflik Papua.

Namun bagi Hikam, pihak yang perlu diajak dialog dalam konflik Papua adalah Masyarakat Sipil Papua. Dalam hal ini kelompok masyarakat adat, pemuka agama, serta organisasi-organisasi masyarakat lokal.

“Artinya dialog itu bukan hanya pemerintah saja. Tapi semua masyarakat Papua bicara. Sebab selama ini dialog kesannya mengangkat kelompok separatisme yang menjadi equal dengan negara. Itu saya tak setuju,” ujarnya.

“Yang dialog adalah masyarakat adat, pemuka agama, dan pemerintah atau yang sudah final soal NKRI,” papar Hikam.(Din)

  • Bagikan