Pengamat Sebut Masih Terjadi Disparitas Atas Keberagaman dan Agama

  • Bagikan
Pengamat Sebut Masih Terjadi Disparitas Atas Keberagaman dan Agama
image_pdfimage_print

Realitarakyat.com – Pengamat dari Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Okky Tirto menyatakan bangsa Indonesia sudah teruji tentang urusan toleransi.

Hal ini dikatakannya dalam diskusi “Menjaga Toleransi di Bulan Ramadhan” yang diselenggarakan di Media Center DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Senin (12/4/2021)

“Kalau masalah toleransi sebetulnya bangsa Indonesia sudah lebih dari matang dipanggang sejarah kalau bicara toleransi. Masyarakat menyikapi perbedaan keyakinan yang cukup serius artinya perbedaan teologi kan itu sangat serius, itu biasa, mereka menyikapinya sebagai sesuatu yang biasa saja, tidak ada yang perlu direbut diributkan dengan hal itu,” katanya.

Kendati demikian, menurutnya, toleransi masyarakat dan di kota cenderung jauh berbeda level kesadarannya, karena masyarakat daerah cenderung lebih serius, sedangkan masyarakat urban masih sensitif dalam persoalan tersebut.

“Sementara kawan-kawan yang hidup dalam spirit yang kita orang kota menyebutnya tradisional atau daerah misalnya, itu cukup dewasa tapi ada ada satu fakta menarik di mana masyarakat urban perkotaan justru, menjadi sangat sensitif dan baperan dengan hal-hal yang sifatnya religius” ungkapnya.

Ditambahkan olehnya, hal tersebut tidak lepas dari keadaan sosial yang terjadi di masyarakat belakangan ini, hal ini sering terkait soal akses pendidikan dan gejolak politik.

“Semakin kesini, ketika dia kawin-mawin itu tema dengan isu politik, makin baper lagi. Ini kan menjadi menjadi satu fakta sosial yang cukup unik juga sebetulnya, terjadi di masyarakat perkotaan yang sebetulnya notabene masyarakat perkotaan cenderung lebih memiliki akses yang lebih mudah untuk meraih pendidikan” ujarnya.

Dirinya menyebutkan, kota Jakarta pernah menjadi kota dengan tingkat toleransi yang tinggi. Namun dalam kenyataan lapangan, hal itu tergerus oleh isu SARA.

“Jakarta saya pernah tercatat menjadi kota dengan indeks demokrasi yang cukup tinggi, dengan nilai toleransi cukup tinggi. Tapi faktanya secara praktik di lapangan kita melihat bahwa kegaduhan-kegaduhan yang berhasil di framming oleh teman-teman jurnalis juga kan nggak kurang kurang terjadi di Jakarta, yang basisnya adalah SARA dan intoleransi” tuturnya.

Pengajar universitas Nahdlatul Ulama ini mengingatkan, disparitas masih sering terjadi antara keberagaman dengan nilai nilai agama, yang terkadang hal tersebut menjadi problem tersendiri di lapangan.

“Jadi sebetulnya berangkat dari surat dan kitab suci yang sama, kira-kira begitu. Cuma praktiknya di lapangan nggak, ini menunjukkan bahwa masih ada disparitas antara keberagamaan di satu sisi sebagai praktik dengan agama sebagai nilai-nilai yang luhur,” tandasnya.[prs]

  • Bagikan