Eks Bos KPK Curiga Ada Sesuatu di Balik Terbitnya SP3 Kasus BLBI

Realitarakyat.com – Mantan Ketua KPK Abraham Samad curiga ada sesuatu di balik terbitnya surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kasus dugaan korupsi surat keterangan lunas bantuan likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI). Dia menilai terbitnya SP3 kasus BLBI terburu-buru.

Samad awalnya bicara soal UU KPK hasil revisi. Dia menyebut salah satu efek buruk dari UU tersebut adalah kewenangan KPK untuk memberi SP3 kasus korupsi.

“Dulu kita tolak karena kita melihat banyak pasal-pasal di dalam yang bukan justru menguatkan, bahkan melumpuhkan, salah satunya ini, pemberian SP3,” kata Samad, Minggu (4/4/2021).

SP3 kasus BLBI dengan tersangka Sjamsul Nursalim dan Itjih itu sendiri terbit pada Kamis (1/4/2021). Kasus ini disetop meski kedua tersangka diduga merugikan negara Rp 4,58 triliun.

Kembali ke Samad. Dia mengatakan, kalaupun SP3 mau diterbitkan sesuai kewenangan pada UU 19/2019, maka KPK harus membuat kajian mendalam soal alasan hukum terbitnya SP3. Dia menyebut SP3 kasus BLBI tak didasari kajian hukum mendalam.

Abraham Samad menilai alasan vonis lepas dari Mahkamah Agung terhadap Eks Ketua BPPN, Syafruddin Arsyad Tumenggung, di kasus BLBI tak cukup menjadi dasar terbitnya SP3 untuk Sjamsul Nursalim dan Itjih.

“Itu tidak terlalu tepat jadi alasan SP3 BLBI. Harus ada analisis mendalam, analisis hukum kalau cuma itu, tidak terlalu tepat,” ujarnya.

Dia curiga KPK diburu waktu untuk menerbitkan SP3 kasus BLBI. Hal itu, kata Abaraham Samad, menimbulkan kecurigaan publik terhadap KPK.

“Ini kesannya terburu-buru, seperti diburu waktu. Padahal seharusnya kita butuh waktu kaji lebih dalam. Kajiannya harus kajian hukum. Kayak teburu-buru sehingga timbulkan tanda tanya ada apa?” ujarnya.

Sebelumya, Sjamsul dan Itjih ditetapkan KPK sebagai tersangka pada Senin (10/6/2019). Saat itu, KPK menduga total kerugian negara akibat perbuatan Sjamsul Nursalim dan istri diduga mencapai Rp 4,58 triliun.

BLBI sendiri merupakan skema pinjaman yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas saat krisis moneter 1998. Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF dalam mengatasi masalah krisis.

Pada Desember 1998, BI menyalurkan BLBI sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank. Salah satu bank yang mendapat suntikan dana adalah Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) di mana Sjamsul adalah pemegang saham pengendali BDNI.

Kini, kasus yang menjerat Sjamsul telah disetop. KPK juga telah menjelaskan alasan menyetop kasus ini.

“Dengan mengingat ketentuan Pasal 11 UU KPK ‘Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara’, KPK berkesimpulan syarat adanya perbuatan penyelenggara negara dalam perkara tersebut tidak terpenuhi, sedangkan tersangka SN dan ISN berkapasitas sebagai orang yang turut serta melakukan perbuatan bersama-sama dengan SAT selaku penyelenggara negara, maka KPK memutuskan untuk menghentikan penyidikan perkara atas nama tersangka SN dan ISN tersebut,” ucap Wakil Ketua KPK Alexander Marwata.

Plt Jubir KPK Ali Fikri juga menegaskan penghentian kasus ini sudah sesuai aturan. Dia juga mengatakan KPK telah mengajukan upaya hukum luar biasa, yakni peninjauan kembali (PK) terkait putusan lepas Syafruddin, namun ditolak MA.[prs]