Beginilah Kisah Muncikari Cilodong Purwakarta yang Kini Hijrah Jadi Pengurus Majelis Taklim

  • Bagikan
Beginilah Kisah Muncikari Cilodong Purwakarta yang Kini Hijrah Jadi Pengurus Majelis Taklim
image_pdfimage_print

Realitarakyat.com – Jalan kehidupan seseorang memang tak pernah bisa ditebak. Seperti dialami oleh Yani yang dulu seorang muncikari di lokalisasi prostitusi Cilodong, Kabupaten Purwakarta, yang kini berdagang dan menjadi pengurus Majelis Taklim.

Kisah Yani ini terungkap saat Anggota DPR RI Dedi Mulyadi membagikan kebutuhan bahan pokok ke daerah Cilodong. Ini ia lakukan sebagai bentuk perhatian kepada masyarakat sekitar yang dulu digusur oleh olehnya saat masih menjabat sebagai Bupati Purwakarta.

Untuk diketahui daerah prostitusi lokalisasi Cilodong dibongkar dan digusur saat Dedi Mulyadi menjabat sebagai Bupati Purwakarta. Saat ini lokalisasi tersebut telah diubah menjadi pemukiman biasa, sentra jualan tanaman hias dan dibangun Tajug Gede Cilodong.

Kali ini Dedi berkunjung ke eks lokalisasi dengan ditemani oleh H Ujang Alim yang dulu merupakan bandar minuman keras di daerah tersebut. Kini ia telah hijrah dan menjadi pengurus di Tajug Gede Cilodong.

“Dulu punya warung jualan bir, arak sama semua minuman keras. Untung ya besar, tahun 2001 bisa Rp 5-10 juta per minggu,” ujar Ujang saat bercerita pada Dedi.

Namun berjalannya waktu Ujang mengaku tak menikmati apa yang ia dapat. “Sekarang sudah berhenti dan jadi pengurus DKM di tajug. Memang dulu uang banyak tapi tidak tenang, anak sakit-sakitan. Istilahnya mah duit jurig dihakan setan,” ucapnya.

Sesampainya di lokasi pembagian Dedi pun bertemu dengan Yani yang dulunya merupakan pemilik tempat prostitusi. Saat masa jayanya ia memiliki 6 anak buah wanita penghibur yang selalu menemani tamu untuk minum miras hingga ‘ngamar’ di tempatnya.

Pada akhirnya lokalisasi tempatnya mencari uang pun digusur. Yani pun memutuskan untuk berhijrah dan meninggalkan pekerjaan yang sebelumnya memberi banyak uang.

“Dulu memang banyak uang. Tapi kalau setiap denger azan itu gelisah, pusing. Kalau sekarang alhamdullilah tidak,” kata Yani.

Tahun 2013 Yani memutuskan menjual rumahnya yang dikampung untuk modal hijrah dan bedagang. Di tahun itu ia pergi ke tanah suci untuk bertaubat. Kemudian ia pulang dan membuka warung di proyek pembangunan tajug yang sebelumnya adalah lokalisasi.

Meski di proyek tersebut terdapat sekitar 200 pekerja dan 18 mandor tapi Yani tidak merasakan untung dari berjualan nasi. Ia bahkan mengaku merugi hingga Rp 105 juta karena banyak pegawai yang tidak bayar hingga proyek selesai.

Setelah proyek selesai Yani tetap berjualan di tajug. Namun selama pandemi ia jarang berjualan karena tajug yang merupakan tempat ibadah berbasis pariwisata itu ditutup sementara.

“Alhamdullilah kan masih ada sisa-sisa uang jadi selama tajug libur sekarang saya bikin majelis taklim setiap hari buat ibu-ibu dan anak-anak. Yang ngajar ustaz-ustaz dari tajug, kan sudah pada kenal,” ucap Yani.

Di tempat yang sama Dedi Mulyadi mengatakan kunjungannya ke eks lokalisasi adalah untuk melihat kembali dampak yang telah ia lakukan dari penggusuran terdahulu.

“Dulu kita gusur, sekarang kita lihat itu orang-orang yang dibubarin berubah atau tidak. Kalau sekadar membongkar tempat prostitusi tapi manusianya tidak berubah jadi lebih baik enggak ada artinya,” kata Dedi.

Kepada Yani, Dedi berjanji akan mencarikan jalan agar utang Rp 105 juta yang seharusnya menjadi hak bisa dinikmati.

“Itu nanti bagaimana caranya kita cari jalan agar uang ibu kembali. Karena itu modal ibu dari mengubah diri. Ini orang habis makan, kerja proyek, enggak bayar. Nanti saya bertanggung jawab mengembalikan uang itu untuk modal ibu berjualan lagi,” ucapnya.

Dedi Mulyadi yang juga Ketua DKM Tajug Gede Cilodong akan membuka kembali kawasan wisata masjid jika diizinkan oleh pemerintah. Sebab selama pandemi Covid-19 banyak pedagang yang merugi karena tajug ditutup sementara dari aktivitas pariwisata umum. (ilm)

 

 

  • Bagikan