Amnesti Internasional Sebut Rusia Mungkin Bunuh Navalny Secara Perlahan

  • Bagikan
Navalny
Alexei Navalny. DOK/NET
image_pdfimage_print

Realitarakyat.com – Alexei Navalny, penentang utama Presiden Rusia Vladimir Putin, dipenjara dalam kondisi tersiksa dan situasi tersebut mungkin perlahan dapat membunuhnya, menurut kelompok hak asasi manusia Amnesty International pada hari Rabu (7/4/2021).

Amnesty International mengatakan Navalny, yang tahun lalu diracuni dengan zat saraf tingkat militer, sekarang menjadi kurang tidur dan tidak memiliki akses ke dokter yang dapat dipercaya di penjara.

“Rusia, pihak berwenang Rusia, mungkin menempatkannya dalam situasi kematian yang lambat dan berusaha menyembunyikan apa yang terjadi padanya,” kata Agnes Callamard, sekretaris jenderal Amnesty International, kepada Reuters menjelang publikasi laporan tahunan kelompok itu.

“Jelas pihak berwenang Rusia melanggar haknya. Kami harus berbuat lebih banyak,” katanya. “(Mereka) telah mencoba untuk membunuhnya, mereka sekarang menahannya, dan membuat sulit kondisi Navalny di penjara, itu sama saja dengan penyiksaan.”

Navalny melakukan mogok makan minggu lalu dalam upaya untuk memaksa otoritas penjara yang menahannya di luar Moskow untuk memberikan perawatan medis yang tepat untuk nyeri akut di punggung dan kakinya.

Kremlin menolak mengomentari kesehatan Navalny, dengan mengatakan itu adalah masalah layanan penjara federal. Layanan penjara pekan lalu mengatakan pria 44 tahun itu menerima semua perawatan yang diperlukan.

Navalny dipenjara pada Februari selama dua setengah tahun karena pelanggaran pembebasan bersyarat.

Penahanan tersebut diyakini Navalny sebagai motif politik.

Moskow, yang telah meragukan keracunan Navalny, menggambarkan Navalny sebagai pembuat onar yang didukung Barat yang bertekad untuk membuat Rusia tidak stabil.

Callamard mengatakan perlakuan buruk Navalny terjadi pada saat pandemi COVID-19 yang telah memperburuk ketidaksetaraan dan meningkatkan represi yang disponsori negara.

Pemerintah tertentu telah menjadikan pandemi sebagai alat untuk menekan perbedaan pendapat dan hak asasi manusia terhadap kelompok minoritas.

Sementara di negara lain telah terjadi tindakan darurat yang mendekati normalisasi yang membatasi kebebasan sipil, tambahnya.

“COVID telah memperkuat penindasan,” kata Callamard. (ndi/rtr/ant)

  • Bagikan