Sepakat UU ITE Direvisi, Legislator Muda Ini Soroti Beberapa Pasal yang Multitafsir

Realitarakyat.com – Presiden Jokowi menyatakan akan membuka opsi untuk merevisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Hal tersebut bertujuan untuk menghapus pasal pasal karet didalamnya.

Anggota Komisi I DPR RI Farah Puteri Nahlia merespon baik arahan dari Presiden Jokowi untuk merevisi UU ITE. Farah setuju bila UU ITE direvisi terutama mengenai pasal pasal yang yang bisa menimbulkan multitafsir.

“Saya setuju sekali tentang arahan Presiden Jokowi untuk merevisi UU ITE. Seperti yg beliau sampaikan bahwa pasal-pasal dalam UU ITE atau Undang-undang No. 11 Tahun 2008, bisa menjadi persoalan mendasar dalam penegakan hukum. Khususnya tentang pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa beda-beda, yang mudah diinterpretasikan secara sepihak,” kata Farah saat dihubungi, Selasa (16/2/2021).

“Sehingga terkesan pasal karet dan multitafsir yang dapat menjadi alat pembungkaman kebebasan berpendapat didunia maya,” sambungnya.

Politikus muda PAN ini menuturkan bila pada dasarnya UU ITE itu lahit untuk melindungi masyarakat dari kejahatan informasi.

Pasalnya, lahirnya UU ITE berbarengan dengan era industri 4.0 saat ini. Kemudian, tingginya penggunaan media sosial di era saat ini menjadi landasan untuk melindungi masyarakat dalam menggunakan media sosial.

“Pada prinsipnya UU ITE ini lahir untuk melindungi kita dari kejahatan informasi dan transaksi elektronik, dimana sebelumnya belum ada payung hukumnya. Kita hrs paham bawa UU ITE ini lahir berbarengan dengan munculnya Revolusi Industri 4.0. Kemudian maraknya media sosial sebagai tanda dimulainya dunia baru di “ruang maya” yang belum ada hukum yang mengaturnya. Oleh karena itu lahirnya UU ITE ini sangat diperlukan untuk melindungi segenap warga Negara,” tuturnya.

Farah juga mengakui bila pada perjalananya banyak pihak-pihak yang menjadi korban dari beberapa pasal-pasal yang multi tafsir dalam UU ITE ini.

Untuk itu sangat penting sekali untuk melakukan revisi pada pasal pasal yang bisa menyebabkan multitafsir pada UU ITE tersebut.

“Gara-gara orang menulis status di medsos yang dipandang ada unsur “penghinaan” maka orang tersebut dapat dijerat hukum. Tipis bedanya antara penghinaan dan kritik. Oleh karena itu pasal-pasal yang multi fungsi ini harus direvisi,” ungkapnya.

Politisi Muda PAN ini mencontohkan beberapa pasal yang bisa menyebabkan multitafsir seperti pada pasal 27 ayat 3 tentang defamasi, dianggap bisa digunakan untuk represi warga yang menkritik pemerintah, polisi, atau lembaga negara.

Selain itu ia juga menyoroti pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian. Pasal ini dapat merepresi agama minoritas serta represi pada warga terkait kritik pada pihak polisi dan pemerintah.

‘Jadi poin yg akan saya katakan adalah UU ITE ini dibuat jangan sampai menjadi alat bagi siapapun terutama negara utk membungkam kebebasan berbicara dan berpendapat karena hal ini dilindungi oleh UU juga,” imbuhnya.

Menutup pernyataanya, Farah menyatakan bila dunia maya perlu ada payung hukum untuk dapat membentuk etika berkomunikasi antar masyarakat.

“Pun demikian interaksi dan pembicaraan di dunia maya mesti ada payung hukumnya, dengan harapan terbentukanya etika berkomunikasi antar warga Negara. Sehingga diharapkan tidak ada salah satu yang dirugikan,” tutupnya.[prs]